Kamis, 21 Juni 2012

Manajemen Likuiditas Perbankan Syariah


MANAJEMEN LIKUIDITAS PERBANKAN SYARIAH

       I.            Latar Belakang
Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram, usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Secara umum tugas utama bank termasuk bank syariah adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Kemudian dana yang telah terkumpul tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman ( kredit ), serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Untuk bisa menghimpun dana dari masyarakat, maka bank memiliki keharusan untuk meyakinkan nasabah bahwa uang yang mereka titipkan dijamin keamanannya. Dengan demikian, agar bisa memberikan keamanan kepada para nasabah, maka bank tersebut haruslah likuid. Kajian mengenai likuiditas di dunia perbankan, merupakan satu keharusan yang harus dilakukan, baik itu oleh pihak perbankan, praktisi keuangan, ataupun pihak-pihak ketiga yang berencana menitipkan dananya di bank. Pentingnya penilaian atas likuiditas suatu bank, merupakan salah satu cara untuk bisa menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat, dan tidak sehat. Salah satu penyebab kebangkrutan suatu bank adalah karena ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Oleh karena itu, likuiditas yang tersedia harus cukup sehingga tidak mengganggu kebutuhan operasional. Melihat pentingnya masalah likuiditas diperlukan pengelolaan yang serius oleh pihak perbankan syariah.
    II.            Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :
1.         Apa pentingnya likuiditas dalam perbankan syariah ?
2.         Apa tujuan manajemen  likuiditas dalam perbankan syariah ?
3.         Bagaimana perbankan syariah mengelola likuiditasnya ?
4.         Instrument apa saja yang digunakan perbankan syariah dalam mengelola likuiditasnya?
 III.            Pembahasan
a.         Likuiditas
Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi bank untuk dikelola dengan baik karena akan berdampak kepada profiitabililitas serta business sustainibility dan continuity. Hal itu juga tercermin dari peraturan bank Indonesia yang menetapkan likuiditas sebagai salah satu dari delapan risiko yang harus dikelola oleh bank.
Dalam terminologi keuangan dan perbankan terdapat banyak pengertian mengenai likuiditas, beberapa diantaranya dapat disebutkan sebagai berikut : Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kemungkinan ditariknya deposito / simpanan oleh deposan/ penitip.. Dengan kata lain, menurut definisi ini, suatu bank dikatakan likuid apabila dapat memenuhi kewajiban penarikan uang dari pada penitip dana maupun dari para peminjam/ debitur. Likuiditas adalah kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban hutang hutangnya, dapat membayar kembali semua deposannya, serta dapat memenuhi permintaan kredit yang diajukan para debitur tanpa terjadi penangguhan. Dalam terminologi yang hampir sama, dapat disebutkan bahwa likuiditas adalah kemampuan bank untuk menyediakan saldo kas dan saldo harta likuid yang lain untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, khususnya untuk :
1.                  Menutup jumlah reserves required
2.                  Membayar chek, giro berbunga, tabungan dan deposito berjangka milik nasabah yang diuangkan kembali
3.                  Menyediakan dana kredit yang diminta calon debitur sehat, sebagai bukti bahwa mereka tidak menyimpang dari kegiatan utama bank yaitu pemberian kredit
4.                  Menutup berbagai macam kewajiban segera lainnya
5.                  Menutup kebutuhan biaya operasional perusahaan.
            Berdasarkan pengertian pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan secara singkat bahwa likuiditas adalah kemampuan suatu bank atau suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban kewajiban jangka pendeknya. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana melalui peningkatan portofolio liabilitas.
Pada umumnya kebutuhan likuiditas bank ditentukan oleh adanya beberapa faktor yang meliputi 3 hal :
1.        Kewajiban reserve yang ditetapkan oleh bank sentral
Merupakan Giro Wajib Minimum (GWM) yang merupakan ketentuan Bank Indonesia. Giro Wajib Minimum merupakan kewajiban reserve (reserve requirement) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar prosentase dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Perhitungan prosentase GWM dilakukan berdasarkan jumlah harian saldo giro pada Bank Indonesia dan rata-rata harian jumlah DPK sebagai berikut:
Prosentase GWM Jumlah Harian Saldo Giro Rata-rata DPK
Tanggal Tanggal Tanggal
1 s.d 7 1 s.d 7 16-23 bulan sebelumnya
8 s.d 15 8 s.d 15 24 s.d akhir bulan sebelumnya
16 s.d 23 16 s.d 23 1-7 bulan yang sama
24 s.d akhir bulan 24 s.d akhir bulan 8-15 bulan yang sama
Dana Pihak Ketiga meliputi seluruh DPK dalam rupiah ataupun valuta asing pada seluruh kantor bank yang bersangkutan di Indonesia.
DPK Bank dalam bentuk rupiah meliputi kewajiban kepada pihak ketiga yang terdiri dari:
• Giro wadi’ah
• Tabungan mudharabah
• Deposito investasi mudharabah
• Kewajiban lainnya
DPK dalam rupiah tersebut tidak termasuk dana yang diterima oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dari Bank Indonesia dan Bank Perkreditan Rakyat
DPK Bank dalam bentuk valuta asing meliputi kewajiban dalam valuta asing kepada pihak ketiga termasuk bank dan Bank Indonesia yang terdiri dari:
• Giro wadi’ah
• Deposito investasi mudharabah
• Kewajiban lainnya
Formula perhitungan GWM:
GWM Rupiah = 5% x DPKt-2
GWM Valas = 3% x DPKt-2
DPKt-2 : rata-rata harian jumlah DPK bank dalam satu masa laporan untuk periode dua masa laporan sebelumnya.Sebelum diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia mengenai ketentuan Giro Wajib Minimum yang terbaru tahun 2008, pada tahun 2004 Bank Indonesia menentukan GWM untuk mata uang rupiah adalah 5% dari Dana Pihak Ketiga, sedangkan GWM valuta asing adalah 3% dari Dana Pihak Ketiga.
            Selain itu terdapat ketentuan tambahan untuk Bank Syariah sebagai berikut
a.         Bagi bank yang rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat tambahan perhitungan GWM sebagai berikut:
·         Bank yang memiliki DPK > Rp 1 trilyun sampai dengan Rp 10 trilyun wajib memelihara GWM tambahandalam rupiah sebesar 1% dari DPK.
·         Bank yang memiliki DPK > Rp 10 trilyun sampai dengan Rp 50 trilyun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK.
·         Bank yang memiliki DPK > Rp 50 trilyun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK.
b.         Bagi bank yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih, dan atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 trilyun rupiah tidak dikenakan tambahan GWM. Karena GWM adalah ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia, maka pelanggaran GWM akan dikenakan sanksi. Pelanggaran GWM terjadi apabila saldo harian Rekening Giro Bank pada Bank Indonesia kurang dari saldo harian Rekening Giro Bank yang telah ditetapkan untuk pemenuhan GWM.
            Sanksi yang dikenakan pada Bank Syariah jika terjadi pelanggaran GWM adalah:
a.       Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) jika terjadi pelanggaran GWM dan rekening giro rupiah bank bersaldo positif.
b.       Sebesar 125% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas kekurangan GWM ditambah 150% dari tingkat indikasi imbalan PUAS atas saldo negative.
c.       Sebesar 0.04% per hari kerja yang berdasarkan pada selisih antara saldo harian Rekening Giro valuta asing bank pada Bank Indonesia yang wajib dipelihara dengan saldo harian Rekening Giro valuta asing Bank yang dicatat pada sistem akuntansi Bank Indonesia yang dibayarkan dalam bentuk rupiah dengan menggunakan kurs transksi Bank Indonesa pada hari terjadinya pelanggaran.
2.        Tipe dana yang ditarik oleh bank
Dilihat dari waktu penarikannya, maka pada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah terdapat dua jenis, yakni dana yang ditarik sewaktu-waktu meliputi tabungan dan giro wadi’ah, serta dana yang ditarik pada saat jatuh tempo meliputi investasi mudharabah.
Untuk memperkirakan jumlah penarikan pada tabungan dan giro wadi’ah, Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah perlu mengetahui: Pengalaman penarikan dana harian pada masa-masa sebelumnya, dan Spreading resources, yaitu persebaran dan jumlah pemegang rekening. Sebagai contoh, jika pada suatu daerah terjadi kecenderungan penarikan dana akibat terjadinya bencana alam, maka dengan estimasi kebutuhan dana dapat dilakukan dengan melihat persebaran kantor cabang di daerah tersebut dan jumlah pemegang rekening.
3.             Komitmen bank kepada nasabah atau pihak lain untuk memberikan fasilitas pembiayaan atau melakukan investasi .
Bisnis di perbankan merupakan bisnis kepercayaan, oleh karenanya pemenuhan komitmen harus menjadi fokus Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah. Sebagai contoh, jika suatu Bank Syariah menerbitkan suatu Bank Garansi, maka jika nasabah yang memegang bank Garansi tersebut wanprestasi terhadap mitra kerjanya, maka komitmen Bank Syariah untuk menjamin wanprestasi tersebut harus dilaksanakan. Jika hal ini terjadi, maka dibutuhkan kecukupan dana untuk memenuhi komitmen tersebut. Sebaliknya jika Bank Syariah tidak mampu memenuhi komitmen tersebut karena kesulitan likuiditas, maka kepercayaan nasabah pemegang bank garansi tersebut akan jatuh, dan selanjutnya akan berpengaruh kepada kepercayaan masyarakat terhadap Bank Syariah tersebut. Selain itu, Bank Syariah juga akan dihadapkan pada tuntutan ganti rugi yang dapat meningkatkan beban perusahaan.

b.        Manajemen likuiditas
Konsep likuiditas didalam dunia bisnis diartikan sebagai kemampuan menjual asset dalam waktu singkat dengan kerugian yang paling minimal. Tetapi pengertian likuiditas dalam dunia perbankan lebih kompleks dibanding dengan dunia bisnis secara umum. Dari sudut aktiva, likuiditas adalah kemampuan untuk mengubah seluruh aset menjadi bentuk tunai  (cash), sedangkan dari sudut pasiva, likuiditas adalah kemampuan bank memenuhi kebutuhan dana  melalui peningkatan portofolio liabilitas. Manajemen aset dan liabilities dalam dunia perbankan adalah hal yang utama untuk menjaga kelangsungan tersebut. Beberapa tujuan dari manajemen aset dan liabilities adalah untuk mencapai pertumbuhan bank yang wajar, pendapatan yang maksimal, menjaga likuiditas yang memadai, membentuk cadangan, memelihara dana masyarakat dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kredit. Berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut, maka manajemen likuiditas di industri perbankan yang menjadi bagian dari manajemen aset dan liabilities adalah hal yang harus dilakukan untuk menjaga tingkat profitabilitas bank dan menjaga kepercayaan masyarakat. Menurut beberapa pakar perbankan pengertian manajemen likuiditas adalah sebagai berikut:
a.              Duane B Graddy : Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan
b.             Oliver G Wood: Manajemen likuiditas melibatkan perkiraan kebutuhan dan penyediaan kas secara terus menerus baik kebutuhan jangka pendek atau musiman atau kebutuhan jangka panjang
Tujuan manajemen likuiditas adalah :
1.             Menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yang ditentukan oleh otoritas moneter yakni Bank Indonesia
2.             Mengelola alat likuid agar selalu dapat memenuhi semua kebutuhan cash flow termasuk kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan.
3.             Memperkecil terjadinya idle fund (dana yang menganggur).
4.             Menjaga posisi likuiditas dan proyeksi arus kas agar selalu dalam posisi aman

c.         Pengelolaan likuiditas dalam perbankan syariah

Fungsi dari manajemen likuiditas salah satunya adalah untuk memberikan keyakinan kepada para penyimpan dana bahwa deposan dapat menarik sewaktu-waktu dananya atau pada saat jatuh tempo dana tersebut dapat ditarik. Oleh karena itu bank wajib mempertahankan sejumlah dana likuid agar bank dapat memenuhi kewajibannya tersebut.
Dalam bank syariah manajemen likuiditas  secara konsep tidak jauh berbeda dengan manajemen bank konvensional. Baik itu dari segi tujuan dan resiko yang akan dihadapi oleh bank syariah. Yang membedakan hanyalah pada akad yang digunakan ketika melakukan kontrak. Selama ini alat untuk manajemen likuiditas dalam bank syariah adalah PUAS (pasar uang antar bank syariah) dengan akad wadiah, SIMA (sertifikat mudharabah antar bank syariah) dan SWBI (surat wadiah bank indonesia) juga dengan akad wadiah. Semuanya ini adalah instrument yang likuid untuk menjaga likuiditas bank. Apabila suatu bank kekurangan likuiditas, maka bank tersebut akan meminjam kepada bank lain berupa PUAS, SWBI atau menerbitkan SIMA, sebaliknya bila kelebihan likuiditas maka akan ditempatkannya pada bank lain (PUAS) atau dengan membeli SWBI atau SIMA. Sedikitnya alat likuiditas bank syariah, membuat para praktisi memutar otak untuk mencari solusi yang dapat memperluas instrument likuiditas bank syariah. Maka dari itu untuk mengakomodir permintaan akan instrument likuiditas yang lain, dibuatlah instrument derivative future kontrak ini dengan salah akad yang digunakan adalah murabahah yang akan menjadi focus kajian kali ini. Jadi pada prinsipnya manajemen bank baik konvensional maupun syariah tidak jauh berbeda. Yang membedakan dan yang ditekankan adalah bagaimana cara mendapatkan dana tersebut haruslah sesuai dengan syariah.
Kewajiban Bank syariah dalam mengelola likuiditasnya, karena pengelolaan likuditas tersebut diperlukan untuk memenuhi kewajiban bank terutama kewajiban jangka pendek. Namun demikian terdapat beberapa kendala dalam pengelolaan likuiditas dalam Bank dengan berbasis Syariah (bank islam), mengingat bank dengan berbasis syariah, produk-produknya masih dibilang baru, seiring dengan usia berkembangnya bank syariah. Adapun kendala-kendala tersebut antara lain yaitu:
a.                  Kurangnya akses untuk memperoleh pendanaan jangka pendek;
b.                  Kurangnya akses ke pasar uang sehingga bank syariah hanya dapat memelihara likuiditas dalam bentuk kas
c.                  Kendala operasional, kesulitan dalam mengendalikan likuiditasnya secara efisien, sebagai contoh tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana yang diterimanya, kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan sehingga berakibat bank-bank Islam menahan alat likuidnya dalam jumlah besar dibandingkan dengan rata-rata perbankan konvensional.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut, ada beberapa pilihan yang kebanyakan dilakukan oleh pengelola bank-bank Islam yang bersifat darurat yaitu:
a.                  Mengupayakan dana di pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia di pasar uang
b.                  mengambil bunga dan menggunakannya untuk tujuan sosial berdasarkan fatwa
c.                  menginvestasikan dalam bentuk emas dan/atau logam mulia lainnya secara tunai dengan kontrak berjangka
d.                 menyimpan dananya di bank konvensional tanpa menerima bunga sebagai imbangan dari servis yang diperolehnya.

d.        Instrumen Likuiditas Bank Syari’ah.
Untuk mengatasi masalah likuiditas dalam dunia perbankan, baik itu bersifat kelebihan likuiditas ataupun kekurangan likuiditas, maka banyak sekali cara yang bisa digunakan. Ketika terjadi kelebihan likuiditas, pemerintah bisa mengatasinya dengan cara menerbitkan surat berharga islami, baik itu seperti sukuk dan lainnya. Selain itu juga, untuk mengatasi masalah likuiditas antar bank, maka BI dan Perhimpunan Bank Umum Nasional (PERBENAS) bekerja sama membentuk pooling fund, yang berfungsi sebagai wadah untuk penyimpanan dana bagi bank yang kelebihan likuiditas serta tempat untuk meminjam dana bagi bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Kunci yang harus dilakukan bank agar senantiasa dapat tetap likuid adalah:
1.        Memiliki Primary Reserve
Dalam dunia perbankan, primary reserve terdiri dari:
a.       Giro pada Bank Sentral
Selama ini Giro pada bank sentral dikenal dengan istilah Giro Wajib Minimum (GWM), yakni merupakan kewajiban setiap bank untuk menitipkan dananya di BI. Berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan BI, maka besarnya GWM minimal 5% dari total dana pihak ketiga (DPK) untuk valuta rupiah dan 3% dari dana pihak ketiga untuk valuta asing, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, bagi Bank Umum Syariah yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK kurang dari 80%, mendapat tambahan GWM sebagai berikut:
*Yang memiliki DPK > Rp 1 triliun s/d Rp 10 triliun wajim memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 1% dari DPK dalam rupiah.
* Yang memiliki DPK > Rp 10 triliun s/d Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 2% dari DPK dalam rupiah.
* Yang memiliki DPK > Rp 50 triliun wajib memelihara GWM tambahan dalam rupiah sebesar 3% dari DPK dalam rupiah.
Sedangkan bagi yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK sebesar 80% atau lebih; dan /atau yang memiliki DPK dalam rupiah sampai dengan Rp 1 triliun tidak dikenakan tambahan GWM
b.       Kas pada valuta.
Alat likuid ini berisi uang tunai yang dipelihara oleh bank untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari.
c.       Giro pada Bank lain
Rekening giro pada bank lain bertujuan untuk melancarkan transaksi antar bank (transfer, inkaso, transaks L/C, dan lain-lain)
d.      Item-item uang tunai yang masih dalam proses inkaso.
Alat likuid ini terdiri dari cek bank sentral atau bank koresponden yang belum secara efektif dikreditkan pada rekening bank pada bank sentral atau bank koresponden.
Tujuan dari alat likuid yang termasuk ke dalam kategori primary reserve (cadangan primer)adalah:
1.        Memenuhi reserve requirement yang ditempatkan dalam bentuk Giro Wajib Minimum di Bank Indonesia.
2.        Memenuhi keperluan operasional bank sehari-hari.
3.        Penyelesaian kliring antar bank.
4.        Memenuhi kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo.

2.        Memiliki Secondary Reserve
Secondary Reserve merupakan cadangan yang berfungsi sebagai penyangga Primary Reserve, ditanam dalam bentuk investasi jangka pendek dan tetap current. Baik dalam kondisi normal apalagi kondisi krisis atau pasar sedang ketat, kebutuhal likuiditas sulit untuk diantisipasi dan dipenuhi segera terutama jika terjadi rush, sehubungan dengan hal tersbut Cadangan Sekunder yang ditempatkan dalam bentuk surat-surat berharga (Marketable Securities) dilakukan dalam rangka memaksimalisasi penempatan dana setiap saat dan harus menghasilkan. Oleh karena itu, Marketable Securities tersebut harus memenuhi criteria Short Term, High Quality, Marketable. Kalau merujuk pada bank-bank Islam yang berada di Bahrain ataupun di kawasan timur tengah, maka kita akan melihat bahwa secondary reserve yang mereka gunakan adalah berupa pembiayaan perdagangan seperti mudharaba dan sukuk. Dan kebanyakan menggunakan jenjang waktu yang pendek (short term), berkisar antara 7 hari sampai dengan 12 bulan .
Adapun cadangan sekunder berupa surat-surat berharga bisa berupa:
a.         Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
Peraturan Bank Indonesia no 2/9/PBI/2000 mengatur tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia. Sertifikat Wadiah Bank Indonesia adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip wadiah.
Adapun ketentuan SWBI sebagai berikut :
1.        Jumlah dana yang dititipkan sekurang-kurangnya Rp 500.000.000 dan selebihnya dengan kelipatan Rp 50.000.000,. Jangka waktu SWBI satu minggu, dua minggu, dan satu bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari.
2.        Imbalan yang diterima pada saat jatuh tempo adalah berupa bonus. Besarnya bonus akan dihitung dengan menggunakan acuan tingkat indikasi imbalan PUAS, yaitu rata-rata tertimbang dari tingkat indikasi imbalan sertifikat IMA yang terjadi di PUAS pada tanggal penitipan
Peran SWBI dalam memenuhi kebutuhan jangka pendek bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang memilikinya adalah bisa digunakan pada saat terjadi kekurangan likuiditas ketika tidak tersedianya dana dari Pasar Uang ataupun dari Bank Pusat untuk Unit Usaha Syariah. Sebagai the lender of last resort, Bank Indonesia dapat memberikan pembiayaan dalam bentuk Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah dan SWBI tersebut dapat dijadikan agunan bagi fasilitas pembiayaan tersebut.
b.         Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Berdasarkan Undang-Undang SBSN yang diterbitkan pada Mei 2008, Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah ataupun mata uang asing.
Dalam rangka penerbitan SBSN, pemerintah dapat mendirikan perusahaan penerbit SBSN yang biasa disebut dengan Special Purpose Vehicles (SPV) yang berwenang diantaranya untuk menerbitkan SBSN, menjadi agen dalam pelaksanaan transaksi SBSN seperti pembayaran baik imbalan maupun nilai nominal SBSN kepada investor, dan menjadi counterpart Pemerintah dalam transaksi pengalihan aset. Pemerintah dalam hal ini bertanggung jawab atas pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan sampai dengan sukuk jatuh tempo.Sedangkan Jenis-jenis sukuk yang banyak beredar di pasaran meliputi :
·                Sukuk ijarah yakni sukuk yang berdasarkan akad ijarah dimana satu pihak bertindak sendiri atau dapat diwakili dalam menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri.
·                Sukuk mudharabah, yakni sukuk yang berdasarkan akad mudharabah dimana satu pihak menyediakan modal dan pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian dan keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagikan berdasarkan perjanjian sebelumnya.
·                Sukuk musyarakah, yakni sukuk berdasarkan akah musyarakah dimana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing masing pihak.
·                Sukuk istisna’, yakni sukuk berdasarkan akad  istisna’ dimana pihak menyepakati jual beli dalam pembiayaan suatu proyek atau barang. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang atau proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.
3.        Mempunyai akses ke pasar uang .
Pasar uang yang dimaksudkan di sini adalah pasar uang antar bank syariah dan pasar modal syariah.
a.       Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS)
            Pasar Uang Antar Bank Syariah merupakan pasar bagi instrument keuangan jangka pendek (kurang dari 1 tahun). Pasar Uang Antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah adalah transaksi keuangan jangka pendek antar bank berdasarkan prinsip syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing. Untuk saat ini, instrument keuangan untuk Pasar Uang Syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia yakni berupa: Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (SIMA) . Berlakunya instrument keuangan syariah IMA ini berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia no 9/8/DPM tertanggal 30 Maret 2007. Tujuan diberlakukannya Sertifikat IMA ini adalah untuk sarana investasi bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah, terutama untuk mengatur kebutuhan likuiditasnya.
Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank (sertifikat IMA) didefinikan sebagai sertifikat yang diterbitkan oleh Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) yang digunakan sebagai sarana investasi jangka pendek di PUAS dengan akad mudharabah. Mudharabah, sesuai definisi pada Surat Edaran tersebut, adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang disepakat sebelumnya. Adapun karakteristik SertifikatIMA :
-        Diterbitkan dengan akad mudharabah
-        Dapat diterbitkan baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing
-        Dapat diterbitkan dengan atau tanpa warkat.
-        Mencantumkan informasi sedikitnya : nilai nominal investasi, nisbah bagi hasil, jangka waktu investasi, indikasi tingkat imbalan Sertifikat IMA sebelum didistribusikan pada bulan terakhir.
-        Berjangka waktu 1 hari sampai dengan 365 hari
-         Dapat diperdagangkan sebelum jatuh tempo.
b.      Pasar Modal Syariah
          Instrument di pasar modal syariah saat ini meliputi saham yang masuk kategori Jakarta Islamic Index, Sukuk, dan reksadana syariah. Karena Bank tidak diperbolehkan berinvestasi pada saham, maka sukuk dan reksadana syariahlah menjadi secondary reserve dimana instrument ini dapat dijual di secondary market untuk sukuk dan dicairkan untuk reksadana syariah jika Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah membutuhkan dana jangka pendek. Namun jika dibandingkan dengan instrument keuangan pada Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS), maka instrument pada Pasar Modal Syariah ini kurang likuid. Untuk itu kriteria high quality dan marketable menjadi penting bagi pemilihan sukuk dan reksadana syariah.
c.       Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syariah (FPJPS)
FPJPS merupakan instrument terakhir untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bagi Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah setelah terjadinya saldo giro negative dan tidak berhasilnya akses pasar uang syariah untuk menutup kewajiban jangka pendek. Bagi Unit Usaha Syariah, selain mencari pendanaan dari Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS), Unit Usaha Syariah juga harus mengusahakan dana dari Kantor Pusat Bank Konvensional. Jika masih belum dapat memenuhi kewajiban jangka pendek tersebut, maka Bank Indonesia dapat memberikan pendanaan yang bersifat syariah untuk membantu likuiditas Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah tersebut.
Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek ini, yang disebut dengan FPJPS, diberikan hanya kepada Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek, namun masih memenuhi persyaratan tingkat kesehatan dan permodalan. Penilaian kesehatan Bank pada faktor likuiditas menggunakan rasio besarnya aset jangka pendek terhadap kewajiban jangka pendek yang merupakan rasio utama. Semakin kecil rasio utama ini, maka tingkat likuiditas bank juga semakin rendah karena kurangnya kemampuan asset jangka pendek untuk mendanai kewajiban jangka pendek. Selain factor likuiditas, factor permodalan juga merupakan factor dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Rasio utama dalam factor permodalan adalah kecukupan pemenuhan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang sebesar 8% dari Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yaitu risiko penyaluran dana, dan risiko nilai tukar yang masuk kategori risiko pasar.
d.       LPS Sebagai Sarana Penunjang Likuiditas Perbankan
Setiap Bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta Penjaminan LPS. Jenis Bank tersebut meliputi bank umum dan BPR, termasuk bank nasional, bank campuran dan bank asing, serta bank konvensional dan bank Syariah. LPS adalah badan hukum yang independent yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang ditetapkan tanggal 22 September 2004. Pendirian dan operasional LPS dimulai sejak UU LPS berlaku efektif yakni tanggal 22 September 2005. LPS menjamin simpanan nasabah bank yang berbentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito dan bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. LPS juga menjamin simpanan di bank Syariah yang berbentuk giro wadiah, tabungan wadiah, tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut. Akan tetapi kebijakan ini kemudian dirubah, yakni sejak 13 Oktober 2008 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum Rp 2 milyar per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga / bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. LPS hanya akan menjamin pembayaran simpanan nasabah tersebut sampai dengan jumlah Rp 2 milyar sedangkan sisanya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank.

 IV.            Kesimpulan

1.                  Likuiditas merupakan suatu hal yang sangat penting bagi bank untuk dikelola dengan baik karena akan berdampak kepada profiitabililitas serta business sustainibility dan continuity .
2.                  Manajemen likuiditas merupakan perkiraan terhadap permintaan dana oleh masyarakat dan penyediaan cadangan untuk memenuhi semua kebutuhan.
3.                  Tujuan manajemen likuiditas adalah :
a.             Menjaga posisi likuiditas bank agar selalu berada pada posisi yan ditentukan oleh otoritas moneter yakni Bank Indonesia
b.             Mengelola alat likuid agar selalu dapat memenuhi semua kebutuhan casflow termasuk kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan.
c.             Memperkecil terjadinya idle fund (dana yang menganggur).
d.            Menjaga posisi likuiditas dan proyeksi arus kas agar selalu dalam posisi aman
4.                  Instrumen likuiditas yang biasa digunakan dalam bank syari’ah bisa berupa :
a.             Primary reserves, yang terdiri dari alat likuid (kas, giro pada bank sentral atau bank koresponden, dan inkaso).
b.              Secondary reserves, yang terdiri dari instrument keuangan syariah.
c.              Jika terjadi kekurangan likuiditas, maka Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah perlu mengupayakan dana dari Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dan jika tidak mencukupi, maka Bank Indonesia akan memberi Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) dengan agunan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI).
5.                   Dengan didirikankan Lembaga Penjamin Simpanan, maka masyarakat yang menyimpan dananya di bank tidak perlu khawatir ketika suatu bank mengalami masalah kesulitan likuiditas. Simpanan setiap nasabah dijamin sampai batas maksimum yang telah ditentukan serta bunga/bagi hasil untuk nasabah akan dibayarkan oleh LPS.
















DAFTAR PUSTAKA

Syafi’I Antoniio. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta : Gema Insani
Endang Setyowati, dkk. Manajemen Likuiditas Perbankan Syari’ah dalam Shariaeconomy.blogspot.com